Selasa, 29 April 2008

Perbandingan SVO, UU-24/1992 dan UU-26/2007

Stadsvorming Ordonantie / SVO

Ordonansi Pembentukan Kota atau Stadsvorming Ordonantie / SVO (Staatsblad 1948 no.168) adalah peraturan perundang-undangan yang diterbitkan tahun 1948 oleh pemerintah pendudukan Belanda yang digunakan untuk penataan ruang dalam perioda 1950-1959.

Upayanya ditujukan untuk menanggapi perkembangan kota yang mendesak, yaitu memperbaiki keadaan kota-kota yang hancur atau rusak semasa terjadinya perang kemerdekaan, termasuk pembangunan perumahan yang masih terus diperhatikan pemerintah. Namun SVO hanya berlaku bagi limabelas dari limapuluh kotapraja yang ada. Dan pelaksanaannya juga sebatas pemeliharaan kota, bukan pembangunan.


Peran serta masyarakat dalam SVO mengatur empat hal :

- Kewajiban walikota mengumumkan draft rencana kota lewat surat kabar lokal atau surat kabar yang banyak dibaca oleh masyarakat lokal diwilayah objek perencanaan.
- Hak setipa anggota masyarakat untuk mendapat informasi penataan ruang dan dokumen tata ruang.
- Hak mengajukan keberatan kepada Pemerintah Daerah dalam waktu satu bulan setelah diumumkan.
- Hak untuk mengajukan banding atas keputusan tentang keberatan yang ditolak.

Secara umum kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan peran serta masyarakat yang ada dalam SVO, didalam prakteknya tidak dilaksanakan. Alasan yang sering dikemukakan dalam melegitimasi penyimpangan ini yaitu, tidak relevannya penggunaan SVO sebagai produk pemerintah kolonial Belanda, didalam praktek kehidupan bernegara sekarang ini.

Stadsvorming Ordonantie / SVO dirasakan sudah tidak dapat lagi dipergunakan secara efektif, karena tidak sesuai lagi dengan perkembang­an dan kemajuan yang sangat dinamis. SVO pada saat belum diundangkan UU Penataan Ruang masih berlaku sebagai hukum positif.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (PR)

UU No. 24/1992 ini mencabut ketentuan peninggalan kolonial, yaitu Ordonansi Pembentukan Kota (Stadsvorming ordonantie Staadblad 1948 No.168). Undang-Undang Penataan Ruang ini diterbitkan untuk memberikan dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya penataan ruang. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan penataan ruang terdahulu seperti halnya Ordonansi Pembentukan Kota (Stadsvorming Ordonantie / SVO) yang memang dibuat untuk merespon kebutuhan pada masa itu, dirasakan tidak mampu lagi menampung perkembangan pembangunan. Kebijaksanaan umum yang berkenaan dengan penataan ruang merupakan hal yang sangat penting, mengingat jumlah penduduk Indonesia semakin bertambah sementara jumlah lahan yang tersedia tetap (tidak bertambah), sehingga membawa beban besar bagi penyediaan lahan. Kebijakan penataan ruang diharapkan dapat memenuhi tuntutan berbagai kebutuhan manusia secara adil dan wajar.

Menurut pasal 1 ayat 3 UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Adapun tujuan dari penataan ruang dalam konteks hukum positif Indonesia meliputi tiga hal (pasal 3 UU.24/1992) :
1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara
2. Terselenggaranya pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk :
- Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera
- Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia
- Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
- Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan
- Mewujudkan keseimbangan kepentingan kepentingan kesejahteraan dan keamanan

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 yang terdiri dari 32 pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan ruang sebagai akibat penataan ruang, mengetahui rencana tata ruang, pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian pemanfaatan tata ruang, memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Disamping hak, dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara ruang dan berkewajiban menaati rencana tata ruang yang diterapkan.

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (PR)

UU No. 26 Tahun 2007 yang dikeluarkan menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang memuat beberapa perubahan penting, dimana salah satunya adalah rentang waktu pelaksanaan sebuah produk rencana tata ruang yang diperpanjang hingga 20 tahun.

Latar belakang kenapa UU No. 24 tahun 1992 perlu diubah dengan UU No. 26 Tahun 2007 adalah bahwa sekarang ini penataan ruang itu belum betul-betul bisa menjadi acuan pelaksanaan pembangunan. Idealnya bahwa kalau kita sudah punya rencana tata ruang, seperti provinsi atau kabupaten / kota yang sudah menentukan rencana tata ruang, hendaknya itu menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan yang di tuangkan dalam program-program yang kemudian dilaksanakan, tapi kenyataannya selama ini banyak rencana tata ruang sudah ada namun pelaksaaannya lain lagi, disamping itu banyak sekali permasalahan yang terjadi, seperti adanya konflik dsb. Dengan UU No.26/2007 ini dibuat rambu-rambu yang salah satunya adalah adanya sanksi, disitu menekankan kalau adanya pelanggaran maka akan dikenakan sanksi baik kepada pemberi ijin maupun si pelanggar tadi, itu adalah salah satu substansi yang ditekan pada UU yang baru agar rencana tata ruang kedepan bisa betul-betul menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan.

Hal yang kritis di dalam implementasi UU No 26 tahun 2007 pada Pasal 65 mengatakan:
1. Penyelenggraran penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana ayat 1 dilakukan antara lain melalui:
a. Partisipasi dalam penyusunan tata ruang,
b. Partisipiasi dalam pemanfaatan ruang,
c. Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Dari ketentuan pasal 65 ini maka dapat dilihat bahwa masyarakat (termasuk korporasi atau lembaga pemerintah lainnya) harus memberikan masukan sebaik-baiknya dalam penataan ruang sesuai asas penataan ruang yang digariskan dalam pasal 2 yaitu:
- Keterpaduan,
- Keserasian,keselarasan dan keseimbangan
- Keberlanjutan
- Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan
- Keterbukaan
- Kebersamaan dan kemitraan
- Perlindungan kepentingan umum
- Kepastian hukum dan keadilan dan
- Akuntabilitas.
Tujuannya adalah agar bumi Nusantara ini menjadi ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
UU No.26/2007 ini menekankan pada hak partisipasi dari publik didalam perencanaan tata ruang, dimulai dari proses penyusunan, perencanaannya, pelaksanaannya bahkan nanti pada pengendaliannya. Salah satu penjabaran dalam undang-undang ini, dinyatakan bahwa masyarakat sebetulnya boleh melakukan usulan, inisiatif, evaluasi bahkan merubah aturan yang sudah di perdakan atau yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah. Lebih lanjut rencana tata ruang merupakan suatu konsensus, artinya, seluruh yang akan memanfaatkan ruang itu ikut didalam proses- proses konsensus. Apakah itu pemerintahnya dengan seluruh sektornya, dunia usahanya, masyarakatnya harus bersepakat bersama. Dalam proses pelaksanaannya sebelum menjadi RAPERDA juga ada tokoh-tokoh masyarakat yang ikut, ada konsultasi publik dsbnya. Ketika sudah menjadi PERDA, minimal tugas Pemerintah Daerah adalah mensosialisasikan kembali dan juga membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat.
Substansi yang lain adalah bahwa UU No.26/2007 menetapkan perlunya disediakan ruang terbuka hijau (RTH) seluas 30% dari areal perkotaan yang terdiri dari 20 % RTH publik dan 10% RTH private. Selain itu juga diperlukan pola insentif dan disinsentif untuk mendorong perwujudan rencana tata ruang. Untuk kegiatan-kegiatan yang mendorong perwujudan rencana tata ruang diberikan insentif dan untuk yang menghambat diberikan disinsentif, agar RTR bisa diimplementasikan perlu RTR diturunkan menjadi rencana rinci yang kemudin dilengkapi dengan peraturan zonasi yang merupakan tools untuk memberikan perijinan sebagaimana salah satu yang ditekankan pada UU No.26/2007. Dalam UU No.26/2007 jelas disebutkan Perda Provinsi perlu disesuaikan dalam kurun waktu dua tahun, sedangkan untuk Kabupaten/Kota disesuaikan untuk waktunya tiga tahun. Jadi waktu tersebut yg ditetapkan untuk masing-masing perda dan kota untuk menetapkan ruang penataan wilayah. Untuk rencana tata ruang Kabupaten / Kota itu menjadi kewenangan Pemda Kabupaten/Kota sedangkan untuk Provinsi menjadi kewenangan Provinsi. Hanya saja pada waktu mem-perda-kan perlu persetujuan. Provinsi perlu meminta persetujuan dari Departemen Pekerjaan Umum untuk substansi, dan Kabupaten/Kota meminta persetujuan dari Departemen Pekerjaan Umum setelah melalui rekomendasi dari Gubernur. Jadi ada proses interaktif yang harus didiskusikan antara Pemda Kabupaten / Kota, sampai pada akhirnya bisa tercapai persetujuan tadi. Bentuk kerjasama penataan ruang wilayah ini, merupakan keserasian antara rencana tata ruang provinsi / kabupaten / kota dan sekitarnya.

Tidak ada komentar: